CIRI-CIRI
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN ORDE BARU
Sebagai
langkah awal untuk menciptakan stabilitas nasional, Sidang Umum IV MPRS telah
memutuskan untuk menugaskan Letjen. Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11
Maret 1966 atau Supersemar yang sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS No.
IX/ MPRS untuk membentuk kabinet baru. Dibentuk Kabinet Ampera yang bertugas:
a.
menciptakan stabilitas politik,
b.
menciptakan stabilitas ekonomi.
Tugas
pokok itulah yang disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program yang dicanangkan
Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
1.
memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2.
melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan
MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3.
melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4.
melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya.
Berdasarkan
Tap MPR XXXIII Secara umum, kebijakan pemerintah Orde Baru terdiri atas
kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri.
Kebijakan Dalam Negeri Pemerintahan
Orde Baru
A.
Penataan
Bidang Ekonomi
Struktur
perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam keadaan kritis. Pemerintah
Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui
tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal sebagai berikut.
a.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga
struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
b.
Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi
persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula
tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika),
sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan
pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.
c.
Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri, sehingga
industri dalam negeri kurang berkembang.
d.
Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an
hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan
rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.
e.
Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan
penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).
f.
Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
g.
Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat
merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di
daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang
saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat
yang menentangnya.
Tugas
pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina
landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam mengemban
tugas utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil sebagaimana tertuang
dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang
diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi,
peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.
Program
jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi telah dapat
terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diharapkan
pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan bagi
peningkatan produksi. Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian yang
stabil dalam waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969 pemerintah telah
meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan
ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun
1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama.
Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi
dikembangkan.
Pembangunan
sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi karena menjadi kunci bagi
pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber kehidupan sebagian besar
masyarakat. Repelita I dapat dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan
berbagai kegiatan pembangunan dipercepat sehingga dapat diikuti oleh Repelita
selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang bermanfaat menghidupi
rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu,
sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.
Bertumpu
pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun
sektor-sektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar
bangsa Indonesia memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian.
Pembangunan yang dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian,
seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian
yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan
penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan dengan
membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan
melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan
kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras.
Strategi
yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat ketekunan serta
kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi pangan dapat
terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil
mencapai swasembada beras. Hal ini merupakan titik balik yang sangat penting
sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar
di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan sumber mata
pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat
ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.
Dengan
ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/1970–1973/1974, merupakan awal
pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/1970–1993/1994).
Pembangunan dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan
strategi dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan
politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian dan
industri yang menunjang sektor pertanian. Ditempatkannya stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam Repelita I tersebut dengan pertimbangan
untuk melaksanakan Repelita sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditentukan
(diprioritaskan).
Demikian
pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan
industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa
Indonesia adalah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya
(65%–75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan,
perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi
sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula
bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan.
Oleh
karena itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah
perlunya pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih
khusus, hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Adanya
hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral ) maka pertanian
sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan mendorong sektor-sektor
lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian, seperti
pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana
angkutan dan jalan.
Kegiatan
pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan,
antara lain produksi beras telah meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta
ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan
rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat
ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi
47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).
Repelita
II untuk periode 1974/1975–1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II
dilanjutkan dengan Repelita III untuk periode 1979/1980–1983/1984, yakni dengan
titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Repelita III
dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985–1988/1989) dengan titik berat pada
sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi
hasil pertanian lainnya.
Pembangunan
sektor industri meliputi industri yang menghasilkan barang ekspor, industri
yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri
dengan Repelita V (1989/1990–1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan
Rakyat merumuskan dan menetapkan GBHN pertama merupakan strategi pembangunan
nasional.
B.
Penataan Politik
Bidang
DPR
dalam memenuhi amanat Tap. MPRS No. X/MPRS/1966, juga telah mengusahakan
pembentukan alat kelembagaan Negara melalui penyusunan beberapa undang-undang,
antara lain :
1. UU No. 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
2. UU No. 8 Tahun 1987 tentang
Susunan dan Kedudukan DPA
3. UU No. 14 Tahun Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman
4. UU No. 5 Tahun 1970 tentang
Susunan dan Kedudukan BPK.
Selain
sejumlah undang-undang tersebut, beberapa perundang-undangan lain juga berhasil
dibentuk, seperti UU No. 11 Tahun 1966 tentang Pers, UU No. 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golkar, serta UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Selanjutnya, semua lembaga-lembaga Negara
seperti MPR, Presiden, DPA, DPR, MA, dan BPK serta lembaga pemerintahan di
pusat dan daerah yang telah berhasil dibentuk diinstruksikan agar segera
diaktifkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan
Orde Baru
Situasi ekonomi dan keuangan yang
parah menyebabkan pemerintah berusaha meminta kepada Negara-negara kreditor
agar dapat menunda pembayaran utang-utang peninggalan Orde Lama berjumlah 2,7
Miliar dollar AS yang akan jatuh tempo pada tahun 1967. Pada tanggal 19-20
September diadakan perundingan di Tokyo atas prakarsa Jepang yang kemudian
dilanjutkan di Paris yang mencapai persetujuan mengenai :
a. Utang-utang Indonesia yang
seharusnya dibayar tahun 1967 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1978
b.
Utang-utang
yang seharusnya dibayar dalam tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk juga
ditunda pembayarannya dengan syarat-syarat yang sama lunaknya dengan
utang-utang yang seharusnya dibayar dalam tahun 1967.
Perundingan
diantara beberapa Negara maju dilanjutkan di Amsterdam untuk membicarakan
kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan-kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat-syarat lunak, pertemuan ini merupakan pertemuan
pertama lembaga Inter-Governmental Group
for Indonesia (IGGI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar