HUBUNGAN
KRISIS POLITIK, EKONOMI, DAN SOSIAL DENGAN JATUHNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU
Keberhasilan
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui
sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan
meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan ekonomi maupun
infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental (character
building) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku
ekonomi (pengusaha/ konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997,
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa,
aparat dan penguasa).
Banyak hal yang
mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama
terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde
Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru
memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu
keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal
ini menimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde
Baru tersebut. Akhirnya penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai
Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru. Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan
timbulnya Reformasi.
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak
dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan
kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di
pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya
secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR
sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya)
anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR
itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini
mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR,
dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi.
Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang,
termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga
menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik
yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
a. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
b. UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan,
Tugas dan Wewenang DPR/ MPR.
c. UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya.
d. UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
e. UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi
dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang
lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi,
tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya
peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat
terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai
faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut
masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi
baik didalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam
kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak
oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap
orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu,
masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan
Presiden.
Terjadinya ketegangan
politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya kerusuhan
baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye
pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan
korban jiwa.
Pemilihan umum tahun
1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih
kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai
Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan
masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat
untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR
bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ.
Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden
Soeharto yang datang dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.
3. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang
melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu
untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar
rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan
berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter
Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank
pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha
yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman
bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di
kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak
hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan
keuangan nasional. Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah
mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin
memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako
di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak
terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk
mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran
dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi,
walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir
kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang
menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah
utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia
menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar
negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi
merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari
1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai
73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang
tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis.
Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang
di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit
macet.
Penyimpangan Pasal 33
UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik
Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di
masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan
tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu,
pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang
dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa
dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi
yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli,
oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan
Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru
bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini
semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat
pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik
sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat
dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah
pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers
yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta
selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang
kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita
yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang
memberitakan itu pers daerah.
3. Krisis Sosial
Demontrasi di lakukan
oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan
harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para
mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi
mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah
tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri
Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu
telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang
menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak
merakyat.
Soeharto kembali ke
Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan
diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR /
MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR akhirnya berubah
menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil
rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan
para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri
akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Maka pada
tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden
Soeharto mengundurkan diri.